Hukum Selamatan Kematian (Tahlilan) [ LENGKAP AUDIO – KUPAS Tuntas Maulidan & Tahlilan – Ustadz Zainal Abidin ]

Posted: 15 April 2009 in BID'AH, Bid'ah Maulid Nabi, Isro' Mi'roj, Nuzulul Qur'an, Bid'ah Tahlilan, Kirim Pahala, dll, DOWNLOAD, Download AUDIO

Hukum Selamatan Kematian (Tahlilan)

Berikut akan dijelaskan mengenai hukum melakukan Tahlil untuk orang mati seperti yangbanyak dilakukan di masyarakat kita. Kegiatan tersebut biasanya dibarengkan denganselamatan 7, 40, 100 dan 1000 hari setelah seseorang meninggal dunia. Juga dilakukanpada haul (peringatan setiap tahun). Bagaimanakah hukumnya? SELAMATAN KEMATIAN (TAHLILAN) BAGAIMANA HUKUMNYA ? Sudah menjadi tradisi masyarakat di Indonesia ketika salah seorang anggota keluarganyameninggal dunia, maka diadakan acara ritual ” Tahlilan “. Apakah acara tersebut berasaldari Islam ? Mari kita simak dengan hati nurani yang murni untuk mencari yang haq daridien yang kita yakini ini. Kita lihat acara dalam Tahlilan ( maaf ini hanya sepanjangpenulis ketahui, bila ada yang kurang harap maklum)Biasanya bila musibah kematian pagi hari maka di malam harinya diadakan acaraTahlilan ini yaitu dibacakan bersama-sama surat Yasin atau doa lainnya. Kemudian dido’akan untuk ahli mayit dan keluarganya dan terkadang ahli mayit menyediakanmakanan guna menghormati tamunya yang ikut dalam acara Tahlilan tersebut.

Bahkanbiasanya acara ini bukan hanya pada hari kematian namun akan berlanjut pada hari ke 40dan seterusnya.Saudaraku, Mari kita simak Hadits Shahih berikut : Dari Jarir bin Abdullah Al Bajalii, “Kami (yakni para Shahabat semuanya) memandang /menganggap (yakni menurut madzhab kami para Shahabat) bahwa berkumpul-kumpul ditempat ahli mayit dan membuatkan makanan sesudah ditanamnya mayit termasuk daribagian meratap.”Sanad Hadits ini shahih dan rawi-rawinya semuanya tsiqat ( dapat dipercaya ) atas syaratBukhari dan Muslim, bahkan telah di shahihkan oleh jama’ah para ulama’ Mari kitaperhatikan ijma’/kesepakatan tentang hadits tersebut diatas sebagai berikut:Mereka ijma’ atas keshahihan hadits tersebut dan tidak ada seorang pun ulama'(sepanjang yang diketahui penulis-Wallahua’lam ) yang mendhaifkan hadits tersebut.Mereka ijma’ dalam menerima hadits atau atsar dari ijma’ para shahabat yang diterangkanoleh Jarir bin Abdullah.

Yakni tidak ada seorang pun ulama’ yang menolak atsar ini.Mereka ijma’ dalam mengamalkan hadits atau atsar diatas. Mereka dari zaman shahabatsampai zaman kita sekarang ini senantiasa melarang dan mengharamkan apa yang telahdi ijma’kan oleh para shahabat yaitu berkumpul-kumpul ditempat atau rumah ahli mayit

Page 2
yang biasa kita kenal di negeri kita ini dengan nama ” Tahlillan atau Selamatan Kematian”. Mari kita simak dan perhatikan perkataan Ulama’ ahlul Ilmi mengenai masalah ini: Perkataan Al Imam Asy Syafi’I, yakni seorang imamnya para ulama’, mujtahid mutlak,lautan ilmu, pembela sunnah dan yang khususnya di Indonesia ini banyak yang mengakubermadzhab beliau, telah berkata dalam kitabnya Al Um (I/318) : ” Aku benci al ma’tam yaitu berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit meskipun tidak adatangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbaharui kesedihan .” ini yang biasa terjadi dan Imam Syafi’I menerangkan menurut kebiasaan yaitu akan memperbaharui kesedihan.

Ini tidak berarti kalau tidak sedih boleh dilakukan. Samasekali tidak ! Perkataan Imam Syafi’I diatas tidak menerima pemahaman terbalik ataumafhum mukhalafah. Perkataan imam kita diatas jelas sekali yang tidak bisa dita’wil ataudi Tafsirkan kepada arti dan makna lain kecuali bahwa : ” beliau dengan tegasMengharamkan berkumpul-kumpul dirumah keluarga/ahli mayit. Ini baru berkumpulsaja, bagaimana kalau disertai dengan apa yang kita namakan disini sebagai Tahlilan ?” Perkataan Al Imam Ibnu Qudamah, dikitabnya Al Mughni ( Juz 3 halaman 496-497cetakan baru ditahqiq oleh

Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki ) : “Adapun ahli mayit membuatkan makanan untuk orang banyak maka itu satu hal yangdibenci ( haram ). Karena akan menambah ( kesusahan ) diatas musibah mereka danmenyibukkan mereka diatas kesibukan mereka dan menyerupai perbuatan orang-orangjahiliyyah. Dan telah diriwayatkan bahwasannya Jarir pernah bertamu kepada Umar.Lalu Umar bertanya, ” Apakah mayit kamu diratapi ?” Jawab Jarir, ” Tidak !” Umarbertanya lagi, ” Apakah mereka berkumpul di rumah ahli mayit dan mereka membuatmakanan ? Jawab Jarir, ” Ya !” Berkata Umar, ” Itulah ratapan !” Perkataan Syaikh Ahmad Abdurrahman Al Banna, dikitabnya : Fathurrabbani

Tartib Musnad Imam Ahmad bin Hambal ( 8/95-96) : “Telah sepakat imam yang empat ( Abu Hanifah, Malik, Syafi’I dan Ahmad) atas tidakdisukainya ahli mayit membuat makanan untuk orang banyak yang mana merekaberkumpul disitu berdalil dengan hadits Jarir bin Abdullah. Dan zhahirnya adalahHARAM karena meratapi mayit hukumnya haram, sedangkan para Shahabat telahmemasukkannya ( yakni berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit ) bagian dari meratapdan dia itu (jelas) haram. Dan diantara faedah hadits Jarir ialah tidak diperbolehkannyaberkumpul-kumpul dirumah ahli mayit dengan alas an ta’ziyah /melayat sebagaimanadikerjakan orang sekarang ini. Telah berkata An Nawawi rahimahullah, ‘Adapun duduk-duduk (dirumah ahli mayit ) dengan alas an untuk Ta’ziyah telah dijelaskan oleh ImamSyafi’I dan pengarang kitab Al Muhadzdzab dan kawan-kawan semadzhab atasdibencinya ( perbuatan tersebut ).’ Kemudian Nawawi menjelaskan lagi, ” Telah berkatapengarang kitab Al Muhadzdzab : Dibenci duduk-duduk ( ditempat ahli mayit ) dengan

Page 3
alas an untuk Ta’ziyah. Karena sesungguhnya yang demikian itu adalah muhdats ( halyang baru yang tidak ada keterangan dari Agama), sedang muhdats adalah ” Bid’ah.” Perkataan Al Imam An Nawawi, dikitabnya Al Majmu’ Syarah Muhadzdzab (5/319-320)telah menjelaskan tentang Bid’ahnya berkumpul-kumpul dan makan-makan dirumah ahlimayit dengan membawakan perkataan penulis kitab Asy Syaamil dan ulama lainnya danbeliau menyetujuinya berdalil dengan hadits Jarir yang beliau tegaskan sanadnya shahih. Perkataan Al Imam Asy Syairazi, dikitabnya Muhadzdzab yang kemudian disyarahkanoleh Imam Nawawi dengan nama Al Majmu’ Syarah Muhadzdzab : “Tidak disukai /dibenci duduk-duduk ( ditempat ahli mayit ) dengan alasan untukTa’ziyah karena sesungguhnya yang demikian itu muhdats sedangkan muhdats adalah “Bid’ah “.

Perkataan Al Imam Ibnul Humam Al Hanafi, dikitabnya Fathul Qadir (2/142) dengan tegas dan terang menyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah ” Bid’ah yang jelek “.Beliau berdalil dengan hadits Jarir yang beliau katakana shahih. Perkataan Al Imam Ibnul Qayyim, dikitabnya Zaadul Ma’aad (I/527-528) menegaskanbahwa berkumpul-kumpul ( dirumah ahli mayit ) dengan alasan untuk ta’ziyah danmembacakan Qur’an untuk mayit adalah ” Bid’ah ” yang tidak ada petunjuknya dari Nabi.

Perkataan Al Imam Asy Syaukani, dikitabnya Nailul Authar (4/148) menegaskan bahwahal tersebut menyalahi sunnah. Perkataan Al Imam Ahmad bin Hambal, ketika ditanya tentang masalah ini beliaumenjawab :” Dibuatkan makanan untuk mereka (ahli mayit ) dan tidaklah mereka (ahli mayit )membuatkan makanan untuk para penta’ziyah.” (Masaa-il Imam Ahmad bin Hambal olehImam Abu Dawud hal. 139) Perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, ” Disukai membuatkan makanan untuk ahlimayit dan mengirimnya kepada mereka. Akan tetapi tidak disukai mereka membuatmakanan untuk para penta’ziyah. Demikian menurut madzhab Ahmad dan lain-lain.” (AlIkhtiyaaraat Fiqhiyyah hal. 93 ). Perkataan Al Imam Al Ghazali, dikitabnya Al Wajiz Fighi Al Imam Asy Syafi’I ( I/79), “Disukai membuatkan makanan untuk ahli mayit.“Kesimpulan: Bahwa berkumpul-kumpul ditempat ahli mayit hukumnya adalah BID’AH dengankesepakatan para Shahabat dan seluruh imam dan ulama’ termasuk didalamnya imamempat. Akan bertambah bid’ahnya apabila ahli mayit membuatkan makanan

Page 4
penta’ziyah. Akan lebih bertambah lagi bid’ahnya apabila disitu diadakan tahlilan padahari pertama dan seterusnya.Perbuatan yang mulia dan terpuji menurut SUNNAH NABI Saw kaum kerabat /sanakfamili dan para tetangga memberikan makanan untuk ahli mayit yang sekiranya dapatmengenyangkan mereka untuk mereka makan sehari semalam.

Ini berdasarkan sabdaNabi Saw ketika Ja’far bin Abi Thalib wafat : ” Buatlah makanan untuk keluarga Ja’far !Karena sesungguhnya telah datang kepada mereka apa yang menyibukakan mereka( yakni musibah kematian ).” (Hadits Shahih, riwayat Imam Asy Syafi’I ( I/317), AbuDawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad (I/205)

Wahai Saudaraku, Apakah perkataan orang-orang yang ahli dalam ilmu agama tersebutmasih belum meyakinkan?Marilah kita mencoba merenungi dengan hati yang jernih, janganlah kita kedepankanhawa nafsu kita. Tentu dalam hati kita senantiasa banyak pertanyaan yang mengganjaldiantaranya:

Kenapa sejak dahulu, kakek kita, bapak kita, ustadz kita bahkan kyiai kitamengajarkannya dan bahkan sudah lumrah dimasyarakat ?Darimana mereka ( ustadz/kyiai kita ) mengambil dalilnya apa hanya budaya ?Wahai saudaraku, Dalam menilai sebuah kebenaran bukanlah disandarkan oleh banyakatau sedikitnya orang yang mengikuti, karena hal ini telah disindir oleh Alloh SWT dalamQS. Al An’aam 116 :”Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini, niscayamereka akan menyesatkanmu dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang-orang yang mendapat petunjuk.

“Marilah kita dalam beragama bersandarkan kepada dalil-dalil yang shahih karena denganberdasar hujjah ( dalil ) yang kuat maka kita akan selamat. Kita tidak boleh beragamahanya mengikuti orang lain yang tidak mengetahui tentangnya karena di akhirat kelakkita akan dimintai pertanggung jawaban terhadap yang telah kita lakukan di dunia,perhatikan peringatan Alloh dalam QS. Al Israa’ 36; “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuantentangnya. sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintapertanggunganjawabnya.”Semoga Allah SWT memberikan taufik serta hidayah kepada kita sehingga mendapatridho dari Allah SWT atas amal-amal yang kita lakukan dan bukan sebaliknya, Amiin.

Maraji, dari kitab ” Al Masaail oleh Ust. Abdul Hakim bin Amir Abdat “

————–

KUPAS Tuntas Maulidan & Tahlilan – Ustadz Zainal Abidin

http://kajian.net/kajian-audio/Ceramah/Zainal%20Abidin%20Syamsudin/Kupas%20Tuntas%20Maulid%20Nabi%20%2526%20Tahlilan/Kupas%20Tuntas%20Maulid%20Nabi%20%2526%20Tahlilan.mp3?l=12

~kajian.net~

Komentar
  1. zaky berkata:

    apakah kita tidak pernah mendo’akan orang yg sudah meninggal…. bohong klau blm pernah. intinya tahlil hanya mendo’akan si mayyit. apa kita yakin akn masuk surga…? ada orang kafir yg masuk surga lantaran menolong anjing yg ke hausan. waktu tasyahud dalam solat kita selalu mendo’akan orang sholeh…

    • abuyahya8211 berkata:

      assalamu’alaykum
      akhi fillah..

      berdo’a, berdzikir, membaca kalimat thoyyibah adalah amalan2 yang mulia, terlebih mendo’akan kedua orang tua kita baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal. sebagaimana Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
      “Apabila seorang anak Adam mati maka terputuslah seluruh amalnya kecuali dari tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang selalu mendoakannya.” (Hadits shahih riwayat Muslim (1631)).

      Oleh karena itu, anak shalih yang selalu mendoakan orang tua merupakan aset penting yang sangat berharga yang selalu dicita citakan oleh para orang tua.

      akan tetapi sebagaimana perkataan Sahabat Abd bin Mas’ud, berapa banyak menginginkan kebaikan namun mereka tidak mendapatkannya..

      kesimpulannya, ana nukilkan saja perkataan Imam Asy-Syafi’i, yang merupakan Ulama rujukan mayoritas masyarakat di negeri ini.

      Perkataan Al Imam Asy Syafi’I, yakni seorang imamnya para ulama’, mujtahid mutlak, lautan ilmu, pembela sunnah dan yang khususnya di Indonesia ini banyak yang mengaku bermadzhab beliau, telah berkata dalam kitabnya Al Um (I/318) :
      ” Aku benci al ma’tam yaitu berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbaharui kesedihan .”
      ini yang biasa terjadi dan Imam Syafi’I menerangkan menurut kebiasaan yaitu akan memperbaharui kesedihan. Ini tidak berarti kalau tidak sedih boleh dilakukan. Sama sekali tidak ! Perkataan Imam Syafi’I diatas tidak menerima pemahaman terbalik atau mafhum mukhalafah. Perkataan imam kita diatas jelas sekali yang tidak bisa dita’wil atau di Tafsirkan kepada arti dan makna lain kecuali bahwa : ” beliau dengan tegas Mengharamkan berkumpul-kumpul dirumah keluarga/ahli mayit. Ini baru berkumpul saja, bagaimana kalau disertai dengan apa yang kita namakan disini sebagai Tahlilan ?”

      • riyanto berkata:

        kalo gt kenapa kita capek2 mendoakan sesama muslim sesama mukmin…kalo kita tahu doanya gak sampe…buat apa kita ngaji,belajar Quran dll kalo kita gak boleh mendoakan ortu kita yg telah wafat….kalo minum,makan ditempat takziah kan sedekah dari tuan rumah dan tidak dipaksa…dan tempat kami…biasa tetangga yang iuran….hayo…gmn
        kita tdk bs bertanya apa maksud dari perkataan imam syafii…jadi kita jgn mentafsirkan sendiri….maksud dan tujuan dari perkataan imam syafii…bs jadi yg kita maksud…bukan maksud dari imam syafii…ada penafsiran lain

      • abuyahya8211 berkata:

        bismillah..

        saudaraku di jalan Alloh..
        hidayah itu teramat sangat mahal, dan dia merupakan nikmat yang paling besar yang sepatutnya kita syukuri. terlebih hidayah di tetapkannya hati kita di atas ISLAM dan di atas SUNNAH..

        singkatnya:
        do’a adalah ibadah, oleh karenanya do’a harus memenuhi 2 syarat ibadah, yaitu ikhllas dan mutaba’ah/ sesuai dengan apa2 yang telah di contohkan oleh nabi.
        tidak ada satu ulama’pun yang melarang kaum muslimin untuk saling mendo’akan, hanya saja yang di larang adalah kaifiyah/ tata cara berdo’a yang menyelisihi apa yang di tuntunkan oleh nabi dan para sahabat.
        begitupula yang antum katakan bahwa makanan yang disajikan dalam acara selamatan adalah shodaqoh, OK niat antum benar tapi kenapa shodaqoh harus hari 1 -7, hari ke 40, 100, dll???? penetapan itu yang terlarang..

        terakhir, kenalilah imam syafi’i dari kitab2 beliau niscaya antum akan tahu siapa beliau sebenarnya..

        wallohua’lam..

  2. den berkata:

    Saya malah jadi pusing sendiri memikirkan kilafiah ini. Salahkah mendoakan orang yang telah meninggal dengan wasilah kalimah thayyibah. Salahkah membaca ayat-ayat al-Qur’an di tempat orang yang meninggal? Lebih bagus mana: ada atau tidak ada pembacaan ayat-ayat al-Qur’an?

    Masyarakat bawah yang saya temui justru merasa terhibur dengan banyaknya tamu yang datang untuk ikut mendoakan dengan tahlil dll. Dan sangat berduka jika hanya sedikit orang yang datang menghadiri acara tahlilan guna mendoakan almarhum/almarhumah. Adakah pantas hal demikian dihakimi sebagai bid’ah, bid’ah, dan bid’ah…yang risikonya adalah neraka. “Duh Allah, tegakah Engkau memasukkan kami ke neraka-Mu gara-gara kami melantunkan puji-pujian dan ayat-ayatmu di rumah orang yg tengah tertimpa musibah?”

    • abuyahya8211 berkata:

      Bismillah..

      Wahai saudaraku, sesunggunya agama ini adalah milik Alloh, sehingga kita memahaminya juga harus sesuai yang dikehendaki oleh Alloh.

      Semoga kita senantiasa mendapatkan curahan taufiq-Nya, hingga mampu memahami agama ini dengan dengan benar sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman salafusholeh/ generasi terbaik umat ini. Dan bukan memahaminya sesuai dengan akal dan perasaan kita semata, demikianlah barometer kita dalam berislam, insyAlloh saudaraku pasti setuju.

      Oleh karenanya kita punya kaidah dalam beramal; maka setiap amal harus kita landaskan pada 2 hal: IKHLAS DAN ITTIBA’/ SESUAI DENGAN APA YANG TELAH DICONTOHKAN OLEH NABI.

      Perlu diketahui wahai saudaraku, tidak setiap vonis bid’ah pada suatu amal maka pelakunya pasti dihukumi ahli bid’ah atau ahli neraka. kita hanya menghukumi dhohir amal sesuai dengan apa yang telah disabdakan oleh Nabi. Terlebih vonis ahli neraka, itu sungguh sangay berat!!!!! karena boleh jadi ia akan bertaubat di akhir kehidupannya maka kita tidak tau.

      Ayo saudaraku, jangan patah semangat dalam menuntut ilmu. InsyAlloh jika kita bersungguh2 dalam mencari al-haq maka Alloh akan memberikan kemudahan jalan hidayah untuk kita. AAMIIN..

      • den berkata:

        Terima kasih atas respons-nya.

        Agama hadir untuk memperbaiki akhlak manusia, dan bukan mematikan rasa. Saya sepakat bahwa dalam peribadatan mahdhah harus sesuai dengan apa yang dicontohkan Nabi saw. Saya pernah mendengar bahwa sebutan bid’ah memiliki wilayah sendiri, yaitu wilayah ibadah khusus (shalat, zakat, dll). Sementara yang lainnya, selama Nabi saw tidak melarang, maka boleh saja dikerjakan.

        Tuduhan bid’ah justru seringkali memunculkan perselisihan dalam masyarakat, bahkan berpotensi memecah belah kerukunan umat Islam hingga terbentuk firqah-firqah…

      • abuyahya8211 berkata:

        Alhamdulillah, insyAlloh saya yakin anda termasuk orang yang bersemangat dalam mengejar al-haq. Terusss… Jangan pernah lelah untuk mengejar al-haq wahai saudaraku meskipun kebanyakan manusia menyelisihi kita.

        Persatuan yang hakiki adalah persatuan di atas al-haq/ Al Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman salafusholeh, dan yang menyelisihinya itulah yang membuat perpecahan.

        ISLAM TELAH SEMPURNA, sedang Kaidah mengatakan, ‘LAU KAANA KHOIRON LASABAQUUNA ILAIH’
        SEANDAINYA AMALAN ITU BAIK NISCAYA NABI & SAHABATNYA TELAH MENDAHULUINYA DALAM BERAMAL

  3. khofiful berkata:

    Boleh beda pendapat bahkan merasa paling benar, namun jangan pernah menyalahkan yang lain, karena sama2 berdasar…kalau pengen tahu pasti apakah nyampek tidak do’a untuk yang mati…maka matilah dulu baru bisa komentar…

    • abuyahya8211 berkata:

      Kami jawab, dengan Al Qur’an dan Sunnah :

      Terlalu banyak firman Allah dan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang memerintahkan kita untuk berhukum dengan Qur’an dan Sunnah ketika terjadi perselisihan. Allah Ta’ala berfirman:

      فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

      “Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59)

      Allah Ta’ala berfirman:

      وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ

      “Tentang sesuatu yang kalian perselisihkan maka kembalikan putusannya kepada Allah” (QS. Asy Syura: 10)

      Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

      فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ، تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

      “Sesungguhnya sepeninggalku akan terjadi banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah khulafa ar rasyidin. Peganglah ia erat-erat, gigitlah dengan gigi geraham kalian” (HR. Abu Daud 4607, Ibnu Majah 42, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud )

      Jelas sekali bahwa jika ada perselisihan maka solusinya adalah kembali kepada dalil, dan tentunya dipahami dengan pehamaman generasi terbaik umat Islam yaitu sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Maka tidak tepat sebagian orang yang jika ada perselisihan selalu menuntut toleransi terhadap semua pendapat, seolah semua pendapat itu benar semua, dan semuanya halal, hanya dengan dalih ‘ini khan khilafiyyah‘.

      Wallohua’lam

  4. wongtelu berkata:

    hormat tamu itu dilakukan ketika jaman nabi dan sebelumnya
    kalau anda tidak mau hormat tamu ya sudahlah gak usah bahas macam macam

    orang itu memang sifatnya kikir……………………….

    • abuyahya8211 berkata:

      ISLAM SANGAT MENGANJURKAN UNTUK MEMULIAKAN TAMU
      ——-
      dan pembahasan di atas tidak ada kaitannya dengan bab menjamu tamu.
      KEMBALIKANLAH PADA PORSINYA MASING2

  5. joseph berkata:

    saya heran dengan sikap orang2 ahli tahlilan, sudah dijelaskan dengan dalil syar’i dari Al Qur’an dan hadits, masih saja ndableg dgn kata2 yg kurang pantas. padahal jelas kalau kita tidak ikut tahlilan, kita memang tidak mendapat pahala tapi juga tidak mendapat dosa, tapi kalau ikut tahlilan memang mungkin mendapat pahala, tapi pahala yg beresiko………iya kalau tidak bid’ah dapat pahala, nah kalau memang bid’ah ? ujungnya di neraka…..naudzubillahimin dzalik.

    • abuyahya8211 berkata:

      “padahal jelas kalau kita tidak ikut tahlilan, kita memang tidak mendapat pahala tapi juga tidak mendapat dosa, tapi kalau ikut tahlilan memang mungkin mendapat pahala, tapi pahala yg beresiko………”
      ————-

      Sedikit mengomentari saja…

      Koq jadi ragu/ ngambang begitu..
      Kayak spekulasi/ untung2an aja…

      Wahai saudaraku, al haq itu sangat jelas dan terang, sebagaimana terangnya matahari di siang hari. Sehingga janganlah kita menjadi orang2 yang ragu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meninggalkan kita di atas tuntunan yang jelas, tuntunan yang terang berderang, di atas petunjuk yang sempurna. Hal ini telah di tegaskan oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya:

      اَلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا

      “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridai Islam itu Jadi agama bagimu.” (QS. al-Maidah: 3)

      Ayat yang mulia ini menunjukkan kesempurnaan syariat dan bahwasanya syariat ini telah mencukupi segala keperluan yang dibutuhkan oleh makhluk.

      Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya, “Ayat ini menunjukkan nikmat Allah yang paling besar, yaitu ketika Allah menyempurnakan agama bagi manusia sehingga mereka tidak lagi membutuhkan agama selain islam, tidak membutuhkan seorang nabi pun selain nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena itulah Allah ta’ala mengutus beliau sebagai nabi penutup para nabi dan mengutus beliau kepada manusia dan jin. Tidak ada sesuatu yang halal melainkan yang Allah halalkan, tidak ada sesuatu yang haram melainkan yang Allah haramkan dan tidak ada agama kecuali perkara yang di syariatkan-Nya.” (Tafsir Ibnu Katsir, dinukil dari ‘Ilmu Usul Bida’, Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi, 17)

      Begitu pula Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

      تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ

      “Aku tinggalkan kalian dalam suatu keadaan terang-benderang, siangnya seperti malamnya. Tidak ada yang berpaling dari keadaan tersebut kecuali ia pasti celaka.” (HR. Ahmad)

      Wallohua’lam

  6. mujamil berkata:

    itukan pendapat anda..masih banyak pendapat ulama yang membolahkan tahlil, jadi tolong hormati mereka, coba kalau saya mendoakan orangtuamu yang sudah mati semoga arwahnya disiksa oleh Alloh,badannya dicabik cabik oleh ular dineraka , dan kepalanya dipukul pukul oleh malaikat zabaniyah ” anda kira kira ikhlas apa tidak . kan do’a orang lain tidak sampai ….boleh ya…

    • abuyahya8211 berkata:

      Wahai saudaraku..

      Agama ini adalah milik Alloh, bukan milik saya, milik anda, milik ulama saya, milik ulama anda, dll.

      Jadi kita ini hanya nurut / manut apa yang difirmankan oleh Alloh dan ada yang telah disabdakan oleh Nabi Shollalohu ‘alaihi wassalam

      InsyAlloh begini paling mudah memahaminya,
      Agama ini milik Alloh, kemudian Alloh mengutus Nabi Muhammad untuk menyampaikan risalah kepada manusia, kemudian kaum yang pertama menerima risalah Al Islam ini adalah para Sahabat hingga Nabi wafat & risalah telah sempurna, yang tak ada kebaikan melainkan telah ditunjukkan oleh Nabi dan tidak ada keburukan melainkan telah diperingatkan-Nya.

      Pertanyaannya, pernahkah amalan2 bid’ah tersebut diamalkan oleh Nabi dan para Sahabat-Nya ?
      Maka PASTI DAN PASTI, JAWABANNYA TIDAK PERNAH, karena tidak ada satupun dalil yang menunjukkannya.

      Koidah mengatakan:
      “lau kaana khoiron laasabaquna ‘ilaih”
      SEANDAINYA AMALAN ITU BAIK NISCAYA NABI DAN PARA SAHABAT PASTI TELAH MENDAHULUI KITA DALAM MENGAMALKANNYA

      • Hamba Alloh berkata:

        Setelah saya baca beberapa komentar diatas, ada sedikit kemiripan dengan pemahaman LDII yang selalu mengedepankan Al qur’an dan Sunnah.

      • abuyahya8211 berkata:

        Seorang muslim MEMANG HARUS ATAU BAHKAN WAJIB MENGEDEPANKAN AL QUR’AN DAN SUNNAH, hanya saja HARUS PULA DIPAHAMI DENGAN PEMAHAMAN SALAFUSHOLEH, bukan dengan pemahaman akalnya, kelp-nya, organisasinya, partainya, dll.