Soal Jawab: Istri Tidak Bercadar

Posted: 17 Mei 2009 in Muslimah, Hijab

Soal Jawab: Istri Tidak Bercadar

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum,
Ana mau tanya atas kebingungan tentang bagaimana sebenarnya hukum tentang wanita yang memakai cadar. Ana sekarang udah menikah dengan awalnya akhwat yang berjilbab biasa saja (jilbab pendek), lalu setelah saya nasehati semampu ana, alhamdulillah mau memakai gamis panjang (tapi masih warna warni) dan jilbab yang lumayan besar. Alhamdulillah dakwah salafiyah telah sampai kepada ana akan tetapi sangat sulit untuk mendakwahkan kepada istri ana. Ana sering malu bertemu dengan ikhwan salafy yang bersama istri mereka yang bercadar sedangkan istri saya tidak. Saya sudah mencoba mencari buku terkait akan tetapi jawabannya berbeda-beda. Menurut Syaikh Albani, dalam buku Jilbab Wanita Muslimah, di sana beliau tidak mewajibkan cadar, dan seolah-olah melemahkan kedudukan cadar. Akan tetapi ketika melihat kitab fatwa terhadap wanita terbitan darul haq, disana banyak yang mewajibkannya termasuk Syaikh Fauzan, Bin Baz, Lajnah Daimah, dll. Saya jadi ragu. Akankankah saya perintahkan istri untuk bercadar, dan sebatas apa saya memerintah istri untuk menjadikannya bercadar. Besar harapan ana untuk dijawab pertanyaan ini. Jujur ana akhir2 ini selalu gelisah dan khawatir tentang keadaan ini. Semoga Allah selalu merahmati Anda. Jazakallah khair.

Jawaban Ustadz:

Hukum menggunakan cadar adalah sebagaimana yang Anda ketahui, yaitu perkara yang syar’i dan merupakan sebuah perintah dari Allah, hal ini adalah merupakan kesepakatan para ulama dan jika Allah memerintahkan hambanya tidak ada kata lain dari seorang hamba kecuali mengatakan saya dengar dan saya taat sebagaimana firman-Nya,

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan ‘Kami mendengar, dan kami patuh’ Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. An Nur: 51)

Adapun perbedaan pendapat di antara para ulama adalah pada hukumnya, apakah perintah Allah tersebut wajib ataukah sunah (yaitu bagi yang melaksanakannya mendapatkan pahala dan bagi yang tidak melaksanakannya tidak berdosa). Terlepas dari perbedaan pendapat para ulama tersebut yang harus disadari cadar adalah sesuatu yang diperintahkan oleh Allah kepada para wanita dan karenanya bijaklah dalam bersikap.

Ada beberapa beberapa hikmah disyari’atkannya cadar untuk bahan pertimbangan antum dalam menyikapi istri, di antaranya:

(1) Membersihkan hati dari pikiran yang buruk dan kotor yang terlintas di benak bila ada sebab yang memicunya meskipun telah berusaha membersihkan hati.

Allah berfirman,

وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعاً فَاسْأَلُوهُنَّ مِن وَرَاء حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ

“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (QS. Al Ahzab: 53)

(2) Menjaga kaum wanita dari gangguan orang fasik.

Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu.” (QS. Al Ahzab: 59)

Ibnu Katsir mengatakan bahwa sebagian orang fasik di kota Madinah pada zaman dahulu sering keluar pada waktu malam mencari wanita, dan jarak antara rumah-rumah penduduk Madinah sangatlah sempit, jika ada wanita yang keluar pada waktu malam mencari kebutuhannya dan dia mengenakan jilbab (baju kurung yang menutup dari kepala sampai kaki) mereka mengatakan dia adalah seorang yang merdeka biarkan dia berjalan, namun jika ada wanita yang tidak mengenakan jilbab mereka mengatakan dia adalah budak/PSK maka mereka menerkamnya.

(3) Memperbaiki penampilan agar sesuai dengan kebaikan batin dan akan tampaklah keserasian luar dan dalam dengan tuntunan syar’i. Itu semua karena wanita yang keluar dari rumahnya dengan menampakkan perhiasan dan fitnahnya bertolak belakang dengan fitrah yang telah Allah ciptakan.

(4) Hijab adalah penampilan seorang wanita yang berakhlak dan berbudi pekerti yang luhur, karena menunjukkan sifat malu yang ada padanya dan menjaganya dari perbuatan yang terlarang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Malu itu akan mendatangkan kebaikan.” (HR. Bukhari)

Adapun hadir dengan istri yang tidak bercadar di hadapan ikhwan adalah sesuatu yang perlu diperinci, bila kita perhatikan kehadiran istri kita tersebut menjadi fitnah bagi para ikhwan, maka hijab lebih ditekankan lagi karena hikmah yang telah saya sebutkan di atas. Ada dua alternatif, pertama menghadirkan kajian tersebut untuknya di rumah atau memperkecil fitnah dengan penutup wajah. Tugas seorang suami adalah memberikan irsyad (petunjuk berupa penjelasan -ed) kepada orang yang terdekat dengannya dan bukan memberikan taufik (petunjuk berupa hidayah -ed) kepadanya, Allah berfirman dalam surat Ar-Ra’d: 40

فَإِنَّمَا عَلَيْكَ الْبَلَاغُ وَعَلَيْنَا الْحِسَابُ

“Maka tugasmu (wahai Muhammad) adalah menyampaikan, dan Kami (Allah) lah yang memperhitungkan perbuatan mereka.” (QS. Ar Ra’d: 40)

Dan juga di dalam firmannya,

وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ

“Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah.” (QS. Hud: 88)

***
Penanya: Anto
Dijawab Oleh: Ust. Subkhan Khadafi

Komentar
  1. amri berkata:

    assalam…ustadz.
    ana mau tanya, insya ALlah ana sebentar lagi mau akad, bolehkah calon pengantin laki-laki dan perempuan duduk bersebelahan (tidak dekat, berjarak sekitar 2/3 meter ketika akad pernikahan….ana berpandangan hal ini boleh, karena hadits yang menyatakan “tidak boleh berdua-duaan kecuali ada mahramnya”… jadi ana berkesimpulan boleh duduk bersebelahan ketika akad, asalkan tidak dekat…ana bertanya seperti ini, jika duduk kami dipisahkan jauh – calon di shaf belakang sedangkan calon laki-laki di depan dekat shaf laki-laki – maka dikhawatirkan banyak terjadi gunjingan di antara orang awam yang hadir… tolong dijawab di email ana ya, ustadz. jazakallaah khairan

    • abuyahya8211 berkata:

      wa’alaikumussalam warohmatullohi wabarokatuh

      Sesuai dengan hadits yang dimaksud, bolehnya yang ditanyakan apabila memenuhi syarat:
      1. ada mahrom calon pengantin wanita
      2. tidak berdekatan apalagi bersintuhan
      3. calon pengantin wanita berhijab dari hadirin, termasuk calon suaminya, di antaranya dengan berjilbab syar’i dengan menutup wajahnya.
      Hal ini pun tidak menutup adanya gunjingan, apalagi dengan sarat ketiga di atas.
      Namun menghidupkan dan menegakkan sunnah hendaknya dilakukan juga terhadap saudara-saudara kita yang masih awam. Termasuk menghidupkan sunah menikah ala sunnah ini. Apalagi menikah ala sunnah sudah tidak dikenali lagi.
      Wallohul muwaffiq