3 HADIST PALSU TERPOPUPER!!! apakah itu?? [ CINTA TANAH AIR ADALAH SEBAGIAN DARI IMAN – PERSELISIHAN ADALAH RAHMAT – MENUNTUT ILMU MESKIPUN HARUS KE NEGERI CINA ]

Posted: 13 April 2011 in Memahami Al Qur'an & Hadist, Qur'an & Hadist

CINTA TANAH AIR ADALAH SEBAGIAN DARI IMAN – PERSELISIHAN ADALAH RAHMAT – MENUNTUT ILMU MESKIPUN HARUS KE NEGERI CINA

Oleh : Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi

1.  Cinta Tanah Air adalah Sebagian dari Iman

A. PENGANTAR

Pada tanggal 17 Agustus, biasanya hadits ini seringkali muncul dalam upacara-upacara untuk menumbuhkan semangat patriotisme dan menyuburkan rasa kebangsaan. Sehingga hadits ini begitu populer sekali di masyarakat, dihafal bahkan dianggap sebagai suatu hadits yang diucapkan oleh Nabi Muhammad.Namun permasalahannya adalah:

  • Benarkah ungkapan tersebut termasuk hadits yang diucapkan oleh Nabi Muhammad?
  • Bagaimana dengan substansi makna kandungannya?!

Kajian berikut akan mencoba untuk mencari jawabannya.

Wallahul Muwaffiq.

B. TEKS HADITS

حُبُّ الْوَطَنِ مِنَ الإِيْمَانِ

Cinta tanah air termasuk iman.

Derajat Hadits dan Komentar Ulama:

TIDAK ADA ASALNYA. Berikut ucapan para ulama pakar ahli hadits:

  1. As-Shoghoni berkata: “Termasuk hadits-hadits yang palsu”.
  2. As-Suyuthi berkata: “Saya tidak mendapatinya”.
  3. As-Sakhowi berkata: “Saya tidak mendapatinya”.
  4. Al-Ghozzi berkata: “Ini bukan hadits”.
  5. Az-Zarkasyi: “Saya belum mendapatinya”.
  6. Sayyid Mu’inuddin ash-Shofwi berkata: “Ini bukan hadits”.
  7. Mula al-Qori berkata: “Tidak ada asalnya menurut para pakar ahli hadits”.
  8. Al-Albani berkata: “Maudhu’ (palsu)”.
  9. Lajnah Daimah yang diketahui oleh Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan: “Ucapan ini bukan hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia hanyalah ucapan yang beredar di lisan manusia lalu dianggap sebagai hadits.

C. MATAN HADITS

Syaikh al-Albani berkata:

“Dan maknanya tidak benar. Sebab cinta negeri sama halnya cinta jiwa dan harta; seseorang tidak terpuji dengan sebab mencintainya lantaran itu sudah tabiat manusia. Bukankah anda melihat bahwa seluruh manusia berperan serta dalam kecintaan ini, baik dia kafir maupun mukmin?!
Allah berfirman:

وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ أَوِاخْرُجُوا مِن دِيَارِكُم مَّافَعَلُوهُ إِلاَّ قَلِيلُُ مِّنْهُمْ

Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka:”Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu”, niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka. (QS. An-Nisa’: 66)

  • Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang kafir juga mencintai tanah air mereka. Musuh-musuh Islam telah menjadikan hadits palsu ini untuk menghilangkan syi’ar agama dalam masyarakat dan menggantinya dengan syi’ar kebangsaan, padahal aqidah seorang mukmin lebih berharga baginya dari segala apapun”.
  • Berlebih-lebihan terhadap tanah air bisa sampai kepada derajat memberhalakannya.
  • Dan terkadang Syetan menggambarkan kepada sebagian mereka bahwa tanah air lebih baik daripada surga ‘Adn, sebagaimana seorang di antara mereka mengatakan:

هَبْ جَنَّةُ الْخُلْدِ الْيَمَنْ
لاَ شَيْئَ يَعْدِلُ الْوَطَنْ

Anggaplah bahwa surga yang kekal adalah Yaman
Tidak ada sesuatupun yang melebihi tanah air.

Seorang lainnya mengatakan:

وَطَنِيْ لَوْ شُغِلْتُ بِالْخُلْدِ عَنْهُ
نَازَعَتْنِيْ إِلَيْهِ فِي الْخُلْدِ نَفْسِيْ

Tanah airku, seandainya aku disibukkan oleh surga darinya
Niscaya jiwaku akan menggugatku di surga menuju tanah airku.

D. SEBAB TERSEBARNYA HADITS

  • Al-Hafizh asy-Syaukani berkata menjelaskan sebab menyebarnya hadits-hadits palsu seperti ini:
  • “Para ahli sejarah telah meremehkan dalam mengutarakan hadits-hadits bathil seputar keutamaan negeri, lebih-lebih negeri mereka sendiri. Mereka sangat meremehkan sekali, sampai-sampai menyebutkan hadits palsu dan tidak memperingatkannya, sebagaimana dilakukan oleh Ibnu Dabi’ dalam Tarikhnya yang berjudul “Qurrotul Uyun bi Akhbaril Yaman Al-Maimun” dan kitab lainnya yang berjudul “Bughyatul Mustafid bi Akhbar Madinah Zabid” padahal beliau termasuk ahli hadits.
  • Maka hendaknya seorang mewaspadai dari keyakinan ini atau meriwayatkannya, karena kedustaan dalam masalah ini sudah menyebar dan melampui batas. Semua itu sebabnya adalah fithrah manusia untuk cintah tanah air dan kampung halamannya”.

E. APAKAH CINTA NEGERI TERLARANG?
Al-Ustadz A. Hassan –semoga Allah merahmatinya- berkata: “Tidak ada undang-undang manusia yang tidak terdapat di hukum-hukum agama, larangan atas seorang mencintai bangsanya dan tanah airnya malah tidak terlarang, dia cinta kepada kerbau dan spinya, kambing dan anjingnya, kelinci dan kucingnya, ayam dan bebeknya.
Sekali lagi, agama tidak menghalangi seseorang mencintai segala sesuatu hatta tanah dan pasir di negeri satrunya.
Cuma, janganlah dibawa-bawa agama dalam urusan yang agama tidak jadikan urusan. Jangan dibawa-bawa kalimat:

حُبُّ الْوَطَنِ مِنَ الإِيْمَانِ

Cinta tanah air termasuk iman.

Ini dikatakan hadits Nabi, padahal bukan.

  • Kalau orang cinta tanah air membawakan hadits palsu itu, maka orang cinta kucing akan membawakan hadits palsu lain:

حُبُّ الْهِرَّةِ مِنَ الإِيْمَانِ

Cinta kucing itu sebagian dari iman.

F. HENDAKNYA UNTUK ISLAM BUKAN SEKADAR KEBANGSAAN

Syaikh Muhammad al-Utsaimin berkata: “Kita apabila perang hanya untuk membela Negara tidak ada bedanya dengan orang kafir yang juga perang untuk membela Negara mereka.

Seorang yang perang hanya untuk membela negeri saja maka dia bukanlah syahid, namun kewajiban kita sebagai muslim dan tinggal di negeri Islam adalah untuk perang karena Islam yang ada di negeri kita. Perhatikanlah baik-baik perbedaan ini, kita berperang karena Islam yang ada di negeri kita. Adapun sekadar karena negeri saja maka ini adalah niat bathil yang tidak berfaedah bagi seorang. Adapun ungkapan yang dianggap hadits “Cinta negeri termasuk keimanan” maka ini adalah dusta.

Cinta Negara, apabila karena Negara tersebut adalah Negara Islam maka kita mencintainya karena Islamnya, tidak ada bedanya apakah Negara kelahiran kita ataukan Negara Islam yang jauh, maka wajib bagi kita untuk membelanya karena Negara Islam.
Kesimpulannya, seharusnya kita mengetahui bahwa niat yang benar tatkala perang adalah untuk membela Islam di negeri kita atau membela Negara kita karena Negara Islam, bukan hanya karena sekedar Negara saja”.
Al-Ustadz A. Hassan mengatakan: “Dalam mencintai tanah air secara kebangsaan itu ada beberapa kesalahannya yang besar bagi orang yang beragama Islam:

  • Pertama: yang sebesar-besarnya, ialah menjalankan hukum-hukum yang bukan dari Allah dan RasulNya.
  • Kedua: dengan terpaksa, karena pembawaan kebangsaan, memandang muslim di negerinya yang bukan sebangsa dan setanah air dengannya sebagai orang asing, padahal sebenarnya ia mesti pandang seperti saudara.
  • Ketiga: Memutuskan perhubungan antara lain-lain negeri Islam dengan alasan mereka bukan sebangsa dan setanah air, walaupun Allah dan Rasul telah katakana mereka saudara yang mesti bersatu.

Dari sini, dapat kita ketahui KESALAHAN ucapan sebagian tokoh tatkala mengatakan:

“Kita tidak memerangi Yahudi karena masalah aqidah!!

“Kita memerangi mereka karena tanah!! Kita tidak memerangi karena mereka kafir!!”

“Tetapi kita memerangi karena mereka merampas tanah kita tanpa alasan yang benar!!!”.

—————————————————————————————————-

2.  Perselisihan Adalah Rahmat

I. PENGANTAR

“Perselisihan umatku adalah rahmat“. Hampir tidak ada di antara kita yang tak pernah mendengar atau membaca hadits ini.  Ia sangat begitu akrab dan populer sekali, baik di kalangan penceramah, aktivis dakwah, penulis, bahkan oleh masyarakat biasa masa kini.

Hanya saja, sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban: Apakah kemasyhuran ungkapan tersebut berarti kualitasnya bisa dipertanggungjawabkan?! Pernahkah terlintas dalam benak kita untuk mengkritisi ungkapan tersebut dari sudut sanad dan matan-nya?! Tulisan berikut mencoba untuk mengorek jawabannya. Semoga Allah menambahkan ilmu yang bermanfaat kepada kita. Amiin.

 

B. TEKS HADITS

اخْتِلاَفُ أُمَّتِيْ رَحْمَةٌ

Perselisihan umatku adalah rahmat.

  • TIDAK ADA ASALNYA. Para pakar hadits telah berusaha untuk mendapatkan sanadnya, tetapi mereka tidak mendapatkannya, sehingga al-Hafizh as-Suyuthi berkata dalam al-Jami’ ash-Shaghir: “Barangkali saja hadits ini dikeluarkan dalam sebagian kitab ulama yang belum sampai kepada kita!”[1] Syaikh Al-Albani berkata, “Menurutku ini sangat jauh sekali, karena konsekuensinya bahwa ada sebagian hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang luput dari umat Islam. Hal ini tidak layak diyakini seorang muslim.
  • Al-Munawi menukil dari as-Subki bahwa dia berkata: “Hadits ini tidak dikenal ahli hadits dan saya belum mendapatkannya baik dengan sanad shahih, dha’if (lemah), maupun maudhu’ (palsu).” Dan disetujui oleh Syaikh Zakariya al-Anshori dalam Ta’liq Tafsir Al-Baidhowi 2/92.[2]
  • Sebagian ulama berusaha untuk menguatkan hadits ini. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini sangat populer sekali. Sering ditanyakan dan banyak di kalangan imam hadits menilai bahwa ungkapan ini tidak ada asalnya, tetapi al-Khothobi menyebutkan dalam Ghoribul Hadits…Ucapannya kurang memuaskan dalam penisbatan hadits ini tetapi saya merasa bahwa hadits ini ada asalnya”.[3]
  • Sungguh, ini adalah suatu hal yang sangat aneh sekali dari Al-Hafizh Ibnu Hajar –semoga Allah mengampuninya-. Bagaimana beliau merasa bahwa hadits ini ada asalnya, padahal tidak ada sanadnya?! Bukankah beliau sendiri mengakui bahwa mayoritas ulama ahli hadits telah menilai hadits ini tidak ada asalnya?! Lantas, kenapa harus menggunakan perasaan?!
  • Kami juga mendapati sebuah risalah yang ditulis oleh Syaikh Su’ud al-Funaisan berjudul “Ikhtilaf Ummati Rohmah, Riwayatan wa Diroyatan”, beliau menguatkan bahwa hadits ini adalah shohih dari Nabi. Ini juga suatu hal yang aneh, karena semua ulama yang beliau katakan mengeluarkan hadits ini seperti Al-Khothobi, Nashr al-Maqdisi dan lain-lain. Mereka hanyalah menyebutkan tanpa membawakan sanad. Lantas, mungkinkah suatu hadits dikatakan shohih tanpa adanya sanad?![4]

 

C. MENGKRITISI MATAN HADITS

Makna hadits ini juga dikritik oleh para ulama. Berkata al-Allamah Ibnu Hazm setelah menjelaskan bahwasanya ini bukanlah hadits:

“Dan ini adalah perkataan yang paling rusak. Sebab, jika perselisihan itu adalah rahmat, maka berarti persatuan adalah adzab. Ini tidak mungkin dikatakan seorang muslim, karena tidak akan berkumpul antara persatuan dan perselisihan, rahmat dan adzab”.[5]

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani juga berkata:

“Termasuk diantara dampak negatif hadits ini adalah banyak diantara kaum muslimin yang terus bergelimang dalam perselisihan yang sangat runcing diantara madzhab empat, dan mereka tidak berusaha semaksimal mungkin untuk mengembalikannya kepada Al-Qur’an dan hadits yang shohih sebagaimana perintah para imam mereka, bahkan menganggap madzhab seperti syari’at yang berbeda-beda!!

Mereka mengatakan hal ini padahal mereka sendiri mengetahui bahwa diantara perselisihan mereka ada yang tidak mungkin disatukan kecuali dengan mengembalikan kepada dalil, inilah yang tidak mereka lakukan! Dengan demikian mereka telah menisbatkan kepada syari’at suatu kontradiksi! Kiranya, ini saja sudah cukup untuk menunjukkan bahwa ini bukanlah dari Allah karena mereka merenungkan firman Allah tentang Al-Qur’an (yang artinya):

 

Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.

(QS. An-Nisa: 82)

Ayat ini secara tegas menunjukkan bahwa perselisihan bukanlah dari Allah, lantas bagaimana kiranya dijadikan sebagai suatu syari’at yang diikuti dan suatu rahmat?!

  • Karena sebab hadits ini dan hadits-hadits serupa, banyak diantara kaum muslimin semenjak imam empat madzhab selalu berselisih dalam banyak masalah, baik dalam aqidah maupun ibadah. Seandainya mereka menilai bahwa perselisihan adalah tercela sebagaimana dikatakan oleh sahabat Ibnu Mas’ud dan selainnya serta didukung dengan banyak ayat Al-Qur’an dan hadits yang banyak sekali, maka niscaya mereka akan berusaha untuk bersatu. Namun, apakah mereka akan melakukannya bila mereka meyakini bahwa perselisihan adalah rohmat?!!

Kesimpulannya, perselisihan adalah tercela dalam syari’at[6]. Maka sewajibnya bagi setiap muslim untuk berusaha semaksimal mungkin untuk melepaskan diri dari belenggu perselisihan, karena hal itu merupakan faktor lemahnya umat, sebagaimana firman Allah (yang artinya):

 

Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.

(QS. Anfal: 46)

Adapun ridho dengan perselisihan, apalagi menamainya sebagai suatu rohmat, maka jelas ini menyelisihi ayat-ayat Al-Qur’an yang secara tegas mencela perselisihan,  tidak ada sandarannya kecuali hadits yang tidak ada asalnya dari Rasulullah ini”. [7]

D. SALAH MENYIKAPI PERSELISIHAN

Saudaraku seiman yang kami cintai, kita semua mengetahui bahwa perselisihan adalah suatu perkara yang tidak bisa dielakkan, baik dalam aqidah, ibadah maupun muamalat. Allah berfirman (yang artinya):

Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka Senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu.

(QS. Hud: 118-119)

Fakta di atas mengharuskan kita untuk memahami masalah perselisihan, karena ternyata banyak juga orang yang terpeleset dalam kesalahan dalam memahaminya:

  • Ada yang menjadikan perselisihan sebagai senjata pamungkas untuk menyuburkan kesalahan, kebid’ahan bahkan kekufuran, sehingga mereka memilih pendapat-pendapat nyeleneh seperti bolehnya acara tahlilan, manakiban, bahkan berani menentang hukum-hukum Islam dengan alasan “Ini adalah masalah khilafiyyah“, “Jangan mempersulit manusia“.  Bahkan, betapa banyak sekarang yang mengkritisi masalah-masalah aqidah dan hukum yang telah mapan dengan alasan  ”kemodernan zaman” dan “kebebasan berpendapat” sebagaimana didengungkan oleh para cendekiawan  zaman sekarang.[8]
  • Sebaliknya, ada juga yang sesak dada menghadapi perselisihan, sekalipun dalam masalah fiqih dan ruang lingkup ijtihad ulama, sehingga ada sebagian mereka yang tidak mau sholat di belakang imam yang berbeda pendapat dengannya seperti masalah sedekap ketika i’tidal, mendahulukan lutut ketika sujud, menggerakan jari ketika tasyahhud dan lain sebagainya. Ini juga termasuk kesalahan.

E. MEMAHAMI PERSELISIHAN

Oleh karena itu, sangat penting kiranya kita jelaskan sikap yang benar dalam menyikapi perselisihan agar kita tidak berlebihan dan tidak juga meremehkan. Dari keterangan para ulama tentang masalah ini[9], dapat kami tarik suatu kesimpulan bahwa perselisihan itu terbagi menjadi dua macam:

 

Pertama: Perselisihan Tercela

Yaitu setiap perselisihan yang menyelisihi dalil yang jelas dari Al-Qur’an atau hadits atau ijma’ ulama. Hal ini memiliki beberapa gambaran:

  • Perselisihan dalam masalah aqidah atau hukum yang telah mapan, seperti perselisihan ahli bid’ah dari kalangan Syi’ah, Khowarij, Mu’tazilah dan sebagainya.[10]
  • Perselisihan orang-orang yang tidak memiliki alat ijtihad seperti perselisihan orang-orang yang sok pintar, padahal mereka adalah bodoh.[11]
  • Perselisihan yang ganjil sekalipun dari seorang tokoh ulama, karena ini terhitung sebagai ketergelinciran seorang ulama yang tidak boleh diikuti[12].
  • Jadi, tidak semua perselisihan itu dianggap. Misalnya, perselisihan Iblis Liberal bahwa semua agama sama, ingkar hukum rajam dan potong tangan, hukum waris, jilbab dan sebagainya, ini adalah perselisihan yang tidak perlu dianggap dan didengarkan. Demikian juga perselisihan Mu’tazilah modern bahwa tidak ada siksa kubur, Nabi Isa tidak turun di akhir zaman, dan sebagainya, ini juga perselisihan yang tidak perlu dilirik. Demikian pula perselisihan sebagian orang yang berfiqih ganjil bahwa wanita nifas tetap wajib sholat, daging ayam haram, dan sebagainya, ini juga perselisihan yang tak perlu digubris.

وَ لَيْسَ كُلُّ خِلاَفٍ جَاءَ مُعْتَبَرًا

إِلاَّ خِلاَفًا لَهُ حَظٌّ مِنَ اْلنَّظَرِ

Tidak seluruh perselisihan itu dianggap

Kecuali perselisihan yang memang memiliki dalil yang kuat[13].

Kedua: Perselisihan Yang Tidak Tercela

Yaitu perselisihan di kalangan ulama yang telah mencapai derajat ijtihad dalam masalah-masalah ijtihadiyyah, biasanya dalam masalah-masalah hukum fiqih. Imam Syafi’i berkata: “Perselisihan itu ada dua macam, pertama hukumnya haram dan saya tidak mengatakannya pada yang jenis kedua”.[14] Hal ini memiliki beberapa gambaran:

  • Masalah yang belum ada dalilnya secara tertentu.
  • Masalah yang ada dalilnya tetapi tidak jelas.
  • Masalah yang ada dalilnya yang jelas tetapi tidak shohih atau diperselisihkan keabsahannya atau ada penentangnya yang lebih kuat[15].

Jadi, dalam masalah-masalah yang diperselisihkan ulama hendaknya kita sikapi dengan lapang dada dengan tetap saling menghormati saudara kita yang tidak sependapat, tanpa saling menghujat dan mencela sehingga menyulut api perselisihan.

  • Imam Qotadah: “Barangsiapa yang tidak mengetahui perselisihan ulama, maka hidungnya belum mencium bau fiqih”.[16]
  • Imam Syafi’I pernah berkata kepada Yunus ash-Shadafi: “Wahai Abu Musa, Apakah kita tidak bisa untuk tetap bersahabat sekalipun kita tidak bersepakat dalam suatu masalah?!”.[17]

Sekalipun hal ini tidak menutup pintu dialog ilmiyah yang penuh adab untuk mencari kebenaran dan pendapat terkuat, karena yang kita cari semua adalah kebenaran. Camkanlah firman Allah, yang artinya:

Jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

(QS. An-Nisa’: 59)

F. Kesimpulan

Kesimpulan yang penulis sampaikan adalah sebagaimana yang dikatakan Syaikh Al-Allamah Muhammad bin ShalihAl- ‘Utsaimin

  • “Termasuk  di antara pokok-pokok Ahli Sunnah Wal Jama’ah dalam masalah khilafiyah adalah apabila perselisihan tersebut bersumber dari ijtihad dan masalah tersebut memungkinkan untuk ijtihad, maka mereka saling toleransi, tidak saling dengki, bermusuhan atau lainnya, bahkan mereka bersaudara sekalipun ada perbedaan pendapat di antara mereka.
  • Adapun masalah-masalah yang tidak ada ruang untuk berselisih di dalamnya, yaitu masalah-masalah yang bertentangan dengan jalan para shahabat dan tabi’in, seperti masalah aqidah yang telah yang telah tersesat di dalamnya orang yang tersesat dan tidak dikenal perselisihan tersebut kecuali setelah generasi utama, maka orang yang menyelisihi shahabat dan tabiin tadi tidak dianggap perselisihannya”.[18]

CATATAN KAKI:


[1] Syaikh Ahmad bin Shiddiq al-Ghumari juga mengomentari ucapan ini, katanya: “Merupakan aib tatkala penulis (as-Suyuthi) mencantumkan hadits palsu, bathil dan tidak ada asalnya ini, apalagi dia juga tidak mendapati ulama yang mengeluarkannya”. (Al-Mudawi li ‘Ilalil Jami’ Shoghir waSyarhi Munawi 1/235).

[2] Silsilah Ahadits adh-Dha’ifah: 57

[3] Al-Maqoshidul Hasanah hlm. 47 oleh as-Sakhowi.

[4] Lihat At-Tahdzir Min Ahadits Akhto’a fi Tashihiha Ba’dhul Ulama hlm. 99-103 oleh Ahmad bin Abdur Rahman al-’Uwain.

[5] Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (5/64)

[6] Syaikh DR. Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata: “Perselisihan bukanlah rohmat, persatuan itulah yang rohmat, adapun perselisihan maka ia adalah kejelekan dan kemurkaan sebagaimana dikatakan oleh sahabat Ibnu Mas’ud”. (Syarh Mandhumah Al-Ha’iyah hlm. 193).

[7] Silsilah Ahadits adh-Dha’ifah 1/142-143 -secara ringkas-.

[8] Lihat risalah yang bagus Manhaj Taisir Al-Mu’ashir oleh Abdullah bin Ibrahim ath-Thowil.

[9] Lihat secara luas tentang masalah perselisihan dalam kitab Al-Ikhtilaf wa Maa Ilaihi oleh Syaikh Muhammad bin Umar Bazimul dan Al-Ikhtilaf Rohmah Am Niqmah? oleh Syaikh Amin Al-Haj Muhammad Ahmad.

[10] Lihat Al-Muwafaqot 5/221 oleh asy-Syathibi, Qowathi’ul Adillah 2/326 oleh as-Sam’ani.

[11] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 20/254.

[12] Lihat Qowa’idul Ahkam 1/216 oleh al-’Izzu bin Abdis Salam.

[13] Lihat al-Itqan fi Ulum Qur’an 1/24 oleh al-Hafizh as-Suyuthi.

[14] Ar-Risalah hlm. 259.

[15] Irsal Syuwath ‘ala Man Tatabba’a Syawadz hlm. 73 oleh Shalih bin Ali asy-Syamroni.

[16] Jami’ Bayanil Ilmi, Ibnu Abdil Barr 2/814-815.

[17] Dikeluarkan oleh adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 10/16, lalu berkomentar: “Hal ini menunjukkan kesempurnaan akal imam Syafi’I dan kelonggaran hatinya, karena memang para ulama senantiasa berselisih pendapat”.

[18] Syarh Al-ushul As-Sittah hal.155-156.

———————————————————————————————

3.  Menuntut Ilmu Meskipun Harus ke Negeri Cina

A. PENGANTAR

Dalam sebuah majalah yang pernah penulis baca, dikisahkan bahwa ada seorang muballigh dari Cina tatkala berceramah di hadapan jama’ah Indonesia, dia mengemukakan hadits ini seraya berkomentar: “Bapak-bapak, ibu- ibu, seharusnya banyak bersyukur, karena bapak ibu tidak perlu repot-repot pergi ke Cina, karena orang Cina-nya sudah datang ke sini”!!!

Sepanjang ingatan penulis juga, hadits ini tercantum dalam buku pelajaran kurikulum sekolah Tsanawiyyah masa penulis (entah kalau sekarang), sehingga dulu pernah ada seorang kawan menyampaikan hadits ini tatkala latihan ceramah, kemudian ada seorang ustadz yang menegur: “Untuk apa menuntut ilmu ke China? Ilmu apa yang mau dicari di sana? Ilmu dunia atau agama?”.

Nah, apakah hadits yang kondang ini shohih dari Nabi? Inilah yang akan menjadi pembahasan kita pada edisi kali ini. Semoga bermanfaat.

B. TEKS HADITS

 

اطْلُبُوْا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّيْنِ

Carilah ilmu sekalipun di negeri Cina.

BATHIL Diriwayatkan oleh;

  1. Ibnu Adi (2/207),
  2. Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbahan (2/106),
  3. Al-Khotib dalam Tarikh (9/364) dan Ar-Rihlah 1/2,
  4. al-Baihaqi dalam al-Madkhal (241, 324),
  5. Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi (1/7-8) dari jalan Hasan bin Athiyah, menceritakan kami Abu A’tikah Tharif bin Sulaiman dari Anas secara marfu’ (sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).
  • Mereka semuanya menambahkan:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim

  • Kecacatan hadits ini terletak pada Abu A’tikah. Dia telah disepakati kelemahannya.
  • Bukhori berkata: “Munkarul hadits”.
  • Nasa’i berkata: “Tidak terpercaya”.
  • Abu Hatim berkata: “Haditsnya hancur”.
  • Al-Marwazi bercerita: “Hadits ini pernah disebut di sisi Imam Ahmad, maka beliau mengingkarinya dengan keras”.
  • Ibnul Jauzi mencantumkan hadits ini dalam al-Maudhu’at (1/215) dan berkata, “Ibnu Hibban berkata: “Hadits bathil, tidak ada asalnya.” Dan disetujui as-Sakhawi[1].

Kesimpulannya, hadits ini adalah hadits batil, dan tidak ada jalan lain yang menguatkannya[2].

C. MENGKRITISI MATAN HADITS

Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata setelah menjelaskan lemahnya hadits ini:

Seandainya hadits ini shahih, maka tidaklah menunjukkan tentang keutamaan negeri Cina dan penduduknya, karena maksud hadits ini –kalaulah memang shahih– adalah anjuran untuk menuntut ilmu sekalipun harus menempuh perjalanan yang sangat jauh[3], sebab menuntut ilmu merupakan perkara yang sangat penting sekali, karena ilmu merupakan sebab kebaikan dunia dan akherat bagi orang yang mengamalkannya. Jadi, bukanlah maksud hadits ini adalah negeri Cina itu sendiri, tetapi karena Cina adalah negeri yang jauh dari tanah Arab, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikannya sebagai permisalan. Hal ini sangat jelas sekali bagi orang yang mau memperhatikan hadits ini”.[4]

 

D. TAMBAHANNYA SHOHIH?

Adapun tambahan dalam hadits ini dengan lafadz:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.

  • Syaikh Al-Albani berkata: “Lafadz ini diriwayatkan dari banyak jalur sekali dari Anas sehingga bisa terangkat ke derajat hasan sebagaimana dikatakan oleh Al-Hafizh al-Mizzi. Saya telah mengumpulkan hingga sekarang sampai delapan jalur. Selain dari Anas, hadits juga diriwayatkan dari sejumlah sahabat lainnya seperti Ibnu Umar, Abu Sa’id, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Ali. Saya sekarang sedang mengumpulkan jalur-jalur lainnya dan menelitinya sehingga bisa menghukumi statusnya secara benar baik shohih, hasan, atau lemah. Setelah itu, saya mempelajarinya dan mampu mencapai kurang lebih dua puluh jalur dalam kitab Takhrij Musykilah Al-Faqr (48-62) dan saya menyimpulkan bahwa hadits ini derajatnya hasan”.[5]
  • Al-Hafizh As-Suyuthi juga telah mengumpulkan jalur-jalur hadits ini dalam sebuah risalah khusus “Juz Thuruqi Hadits Tholabil Ilmi Faridhotun Ala Kulli Muslimin”, telah dicetak dengan editor Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi, cet Dar “Ammar, Yordania.

Namun perlu kami ingatkan di sini bahwa hadits ini memiliki tambahan yang yang populer padahal tidak ada asalnya yaitu lafadz “dan muslimah“.

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ

Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim dan muslimah.

  • Tambahan lafadz وَمُسْلِمَةٍ tidak ada asalnya dalam kitab-kitab hadits. Syaikh al-Albani mengatakan, “Hadits ini masyhur pada zaman sekarang dengan tambahan وَمُسْلِمَةٍ padahal tidak ada asalnya sedikitpun. Hal ini ditegaskan oleh al-Hafizh as-Sakhawi. Beliau berkata dalam al-Maqashid al-Hasanah (hal. 277): “Sebagian penulis telah memasukkan hadits ini dengan tambahan وَمُسْلِمَةٍ, padahal tidak disebutkan dalam berbagai jalan hadits sedikitpun”.[6]

Sekalipun demikian, makna tambahan ini benar, karena perintah menuntut ilmu mencakup kaum pria dan wanita juga. Syaikh Muhammad Rasyid Ridho berkata: “Hadits “menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim” mencakup wanita juga dengan kesepakatan ulama Islam, sekalipun tidak ada tambahan lafadz “dan muslimah”. Akan tetapi,  matan-nya adalah shohih dengan kesepakatan ulama“.[7]

Semoga Allah merahmati Al-Hafizh Ibnul Jauzi tatkala berkata:

“Saya selalu menganjurkan manusia untuk menuntut ilmu agama, karena ilmu adalah cahaya yang menyinari, hanya saja saya memandang bahwa para wanita lebih utama dengan anjuran ini, dikarenakan jauhnya mereka dari ilmu dan menguatnya hawa nafsu pada diri mereka”. Lanjutnya: “Wanita adalah manusia yang dibebani seperti kaum pria, maka wajib olehnya untuk menuntut ilmu agar dia dapat menjalankan kewajiban dengan penuh keyakinan”.[8]

Sejarah telah mencatat nama-nama harum para wanita yang menjadi para ulama dalam bidang agama, Al-Qur’an, hadits, syair, kedokteran dan lain sebagainya.[9]

E. HADITS-HADITS LEMAH TENTANG ILMU

Tidak ragu lagi bahwa menunut ilmu merupakan suatu keharusan bagi seorang muslim. Namun, bukanlah hal itu berarti kita menganjurkan mereka dan menggalang semangat mereka dengan hadits-hadits dusta yang disandarkan kepada Nabi yang mulia seperti yang dilakukan oleh banyak penceramah dan penulis, seperti hadits:

اطْلُبُوْا الْعِلْمَ مِنَ الْمَهْدِ إِلَى اللَّحْدِ

Carilah ilmu sejak bayi hingga ke liang kubur.

  • TIDAK ADA ASALNYA. Demikian ditegaskan Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz.[10]

.Seperti juga:

مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ, وَمَنْ أَرَادَ الأَخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ, وَمَنْ أَرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ

Barangsiapa yang menghendaki dunia, maka hendaknya dia berilmu. Dan barangsiapa yang menghendaki akherat, maka hendaknya dia berilmu. Dan barangsiapa yang menghendaki dunia akherat, maka hendaknya dia berilmu.

  • TIDAK ADA ASALNYA.
  • Yang benar ini adalah ucapan Imam Syafi’i, bukan ucapan Nabi.

Dan masih banyak lagi lainnya hadits-hadits lemah yang sering dibawakan untuk menganjurkan manusia agar semangat menuntut ilmu[11].

Sekali lagi, kita tidak butuh dengan hadits-hadits lemah, cukuplah bagi kita dalil-dalil dari Al-Qur’an, hadits yang shohih dan ucapan para ulama[12].

 

F. PENUTUP

Berbicara tentang ilmu sangat panjang sekali, namun ada satu point penting yang ingin kami tekankah di sini bahwa banyak para penulis dan penceramah tatkala membawakan dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits baik yang shohih maupun tidak shohih, mereka memaksudkannya kepada ilmu dunia. Ini adalah suatu kesalahan, karena setiap ilmu yang dipuji oleh dalil-dalil tersebut maksudnya adalah ilmu agama, ilmu Al-Qur’an dan sunnah[13], sekalipun kita tidak mengingkari ilmu-ilmu dunia seperti kedokteran, arsitek, pertanian, perekonomian dan sebagainya, tetapi ini bukanlah ilmu yang dimaksud dalam dalil-dalil tersebut, dan hukumnya tergantung kepada tujuannya, apabila ilmu-ilmu dunia tersebut digunakan dalam ketaatan maka baik, dan bila digunakan dalam kejelekan maka jelek. Perhatikanlah hal ini baik-baik, semoga Allah menambahkan ilmu bagimu.[14]

CATATAN KAKI


[1] Al-Maqashid al-Hasanah hal. 63

[2] Silsilah Ahadits adh-Dha’ifah: 416

[3] Oleh karenanya, Rihlah (melakukan perjalanan jauh) untuk menuntut ilmu adalah kebiasaan para ulama salaf terdahulu dari kalangan sahabat, tabi’in dan orang-orang setelah mereka, bahkan tak sedikit diantara mereka yang menempuh perjalanan berbulan-bulan hanya untuk mencari satu hadits. Kisah-kisah tentang mereka begitu banyak sekali, sebagiannya telah dikumpulkan oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam kitabnya “Ar-Rihlah Li Thalib Hadits”. Cukuplah sebagai contoh, perjalanan Nabi Musa untuk menemui Nabi Hidhir dalam rangka menuntut ilmu yang disebutkan oleh Allah dalam surat Al-Kahfi. Wallahu A’lam.

[4] At-Tuhfatul Karimah fi Bayani Ba’dhi Ahadits Maudhu’ah wa Saqimah hal. 60

[5] Silsilah Ahadits Adh-Dho’ifah 1/604.

[6] Takhrij Musykilatul Faqr hal. 48-62.

[7] Huquq Nisa’ fil Islam hlm. 18.

[8] Ahkam Nisa’ hal. 8-11

[9] Lihat kisah-kisah mereka dalam kitab Huquq Mar’ah Dr. Nawwal binti Abdullah hal. 285-293, ‘Inayah Nisa’ bil Hadits Nabawi oleh Syaikh Masyhur Hasan Salman.

[10] Ahadits Mardudah Sa’id bin Shalih al-Ghamidi hal. 12

[11] Lihat buku penulis “Hadits-Hadits Dho’if Populer” hlm. 53-61, cet Media Tarbiyah, Bogor.

[12] Lihat kitab Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi oleh Imam Ibnu Abdil Barr dan Miftah Dar Sa’adah oleh Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah.

[13] Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali berkata:

“Ilmu bermanfaat adalah mempelajari Al-Qur’an dan sunnah serta memahami makna kandungan keduanya dengan pemahaman para sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in. Demikian juga dalam masalah hukum halal dan haram, zuhud dan masalah hati, dan lain sebagainya”. (Fadhlu Ilmi Salaf ‘ala Ilmi Khalaf hlm. 26).

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqolani berkata:

“Maksud ilmu adalah ilmu syar’i yang mengajarkan pengetahuan tentang kewajiban seorang hamba dalam ibadah dan mu’amalatnya”. (Fathul Bari 1/92).

[14] Lihat Kitabul Ilmi hlm. 13-14 karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.

http://ibnuramadan.wordpress.com/

Komentar
  1. Ayah Raka berkata:

    Saya pernah membaca tulisan Abdullah Patani tentang Gerakan Freemason di Asia Tenggara yang di dalamnya tersebut beberapa kalimat yang dinukil dari buku milik orang-orang Yahudi yakni di antaranya adalah kalimat “Cinta tanah air Sebagian dari iman”. Barangkali bersumber dari buku itulah hadits palsu ini berasal. Buku tersebut berjudul “Syer Talmud Qaballa” yang berarti Nyanyian Talmud Kabbalah.

  2. Saya pernah membaca tulisan Abdullah Patani tentang Gerakan Freemason di Asia Tenggara yang di dalamnya tersebut beberapa kalimat yang dinukil dari buku milik orang-orang Yahudi yakni di antaranya adalah kalimat “Cinta tanah air Sebagian dari iman”. Barangkali bersumber dari buku itulah hadits palsu ini berasal. Buku tersebut berjudul “Syer Talmud Qaballa” yang berarti Nyanyian Talmud Kabbalah..

    Heran saya, koq buku seperti ini jadi rujukan,, WAHYUDI, REMASON, LAMINATING,,mereka tidak miliki tanah air namun rampasan, dengan hadist itu tidak relevan untuk bangsa kita karena menelan mentah2 yang di bilang “Cinta tanah air Sebagian dari iman” adalah hadist palsu sangat terindikasi PEMBODOHAN.. pembodohan umat/bangsa Indonesia agar tidak perlu menjaga indahnya NUSANTARA.. SANGAT disayangkan pintar utak atik qur`an, hadist namun tujuan IBLIS..