Soal : Assalamu ‘alaikum warahmatullohi wabarakatuh
Saya membuka kios pupuk. Modal untuk 1 karung pupuk adalah Rp. 70.000,00 sampai dengan Rp. 115.000,00. dalam 1 karung pupuk (dengan pembelian kontan) saya mendapatkan keuntungan Rp. 1.500,00 sampai dengan Rp. 6.500,00. Mayoritas transaksi dalam perdagangan kami adalah sistem kontan. Namun, ada sebagian kecil petani menginginkan sistem bayar panen, artinya mereka ambil dahulu pupuknya kemudian bayarnya setelah mereka panen (tempo 3-4 bulan).
Yang ingin saya tanyakan, bolehkah bagi saya untuk menerapkan sistem dua harga ??? Misalnya, bila kontan harga sekian, bila bayar panen (tempo) harga sekian, yang tentu saja harga tempo lebih besar daripada harga kontan, karena bila kami menerapkan harga sama maka (dalam perhitungan bisnis) jelas kami merugi. Mohon solusi dan jawabannya, Ustadz … Wassalamu ‘alaikum warohmatullohi wabarokatuh.
Tri Widodo Kios Pupuk “Xxxxx Tani”
Bulakan, Sukoharjo, Jawa tengah
Jawab : Wa’alaikumussalam warohmatullohi wabarokatuh. Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.
Bapak Tri Widodo, semoga Allah memberkahi usaha bapak dan menjaga bapak dan keluarga bapak. Selanjutnya, perlu diketahui bahwa para ulama berbeda pendapat tentang hukum menjual barang dengan dua harga, kontan sekian kredit sekian. Akan tetapi, pendapat yang paling kuat dalam masalah ini ialah pendapat yang membolehkannya. Kesimpulan ini berdasarkan kepada beberapa alasan berikut :
Dalil pertama : Keumuman firman Allah Ta’ala :
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermua’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. (QS. Al-Baqoroh [2] : 282).
Ayat ini adalah salah satu dalil yang menghalalkan adanya praktek hutang piutang, sedangkan akad kredit adalah salah satu bentuk hutang maka dengan keumuman ayat ini menjadi dasar dibolehkannya perkreditan.
Dalil kedua : Hadist riwayat Aisyah radhiyallahu ‘anha :
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran terhutang, dan beliau menggadaikan perisai beliau kepadanya.” (HR. al-Bukhari : 1990 dan Muslim : 1603)
Pada hadist ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan dengan pembayaran terhutang dan sebagai jaminannya beliau menggadaikan perisainya. Dengan demikian, hadist ini menjadi dasar dibolehkannya jual beli dengan pembayaran terhutang dan perkreditan adalah salah satu bentuk jual beli dengan pembayaran terhutang.
Dalik ketiga : Hadist Abdullah bin ‘Amar bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu :
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahku untuk mempersiapkan suatu pasukan, sedangkan kami tidak memiliki tunggangan, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Abdullah bin ‘Amr (bin al-‘Ash) radhiyallahu ‘anhu untuk membeli tunggangan dengan pembayaran tertunda hingga datang saatnya penarikan zakat. Maka Abdulloh bin ‘Amr (bin al-‘Ash) pun atas perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli setiap ekor unta dengan harga dua ekor unta yang akan dibayarkan ketika telah tiba saatnya penarikan zakat.” (HR. Ahmad 2/171), Abu Dawud : 3359 dan dinyatakan hasan oleh al-Albani rahimahullah dalam Riwa’ul Gholil : 1358)
Pada kisah ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada sahabat Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash radhiyallahu ‘anhu untuk membeli setiap ekor unta dengan harga dua ekor unta secara pembayaran terhutang. Sudah dapat ditebak bahwa beliau tidak akan rela dengan harga yang begitu mahal (200%) bila beliau membeli dengan pembayaran tunai. Dengan demikian, pada kisah ini, telah terjadi penambahan harga barang karena pembayaran yang tertunda (terhutang).
Dalil keempat : Keumuman hadist salam (jual beli dengan pemesanan)
Diantara bentuk perniagaan diizinkan syari’at adalah dengan cara salam, yaitu memesan barang dengan pembayaran di muka (kontan). Transaksi ini adalah kebalikan dari transaksi kredit. Ketika menjelaskan hukum transaksi ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mensyaratkan agar harga barang tidak berubah dari pembelian dengan penyerahan barang langsung. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya bersabda :
“Barang siapa yang membeli dengan cara memesan (salam), hendaknya ia memesan dalam takaran yang jelas, timbangan yang jelas dan hingga batas waktu yang jelas pula.” (HR. al-Bukhari : 2124 dan Muslim : 1604).
Pemahaman dari empat dalil diatas dan juga lainnya selaras dengan kaidah dalam ilmu fiqih, yang menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal. Berdasarkan kaidah ini, para ulama menyatakan bahwa selama tidak ada dalil yang shohih dan tegas yang mengharamkan suatu bentuk perniagaan, maka perniagaan tersebut boleh atau halal dilakukan.
Bila anda bertanya perihal sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut :
“Barang siapa yang menjual dua penjualan dalam satu penjualan maka ia hanya dibenarkan mengambil harga yang paling kecil., kalau tidak maka ia telah terjatuh ke dalam riba.” (HR. Abu Dawud : 3463)
Maka ketahuilah bahwa penafsirannya yang paling tepat iala apa yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyijm rahimahullah dan lainnya[1], bahwa makna hadist ini adalah larangan berjual beli dengan cara ‘inah. Jual beli ‘inah ialah seseorang menjual kepada orang lain suatu barang dengan pembayaran dihutang, kemudian seusai barang diserahkan, segera penjual membeli kembali barang tersebut dengan pembayaran kontan dan harga yang lebih murah.
Wallohu Ta’ala A’lam
Oleh: Ustadz DR. Muhammad Arifin bin Badri. MA
Artikel: ibnuabbaskendari.wordpress.com
Sumber: Majalah AL FURQON no. 107, edisi 04, thn ke-10, 1431.H /2010.M
Catatan Kaki:
[1] Sebagaimana beliau jelaskan dalam kitabnya I’lamul Muwaqqi’in dan Hasyiah ‘ala Sunan Abi Dawud